Rumah adat Joglo Pati di Anjungan Kabupaten Pati di Puri Maerokoco atau "Taman Mini Jawa Tengah Indah", Semarang. |
BILA Anda
mengunjungi wilayah Kabupaten Pati, begitu kendaraan yang Anda tumpangi
melewati gapura “Selamat Datang Kabupaten Pati”, ada satu mercu tanda yang
bakal memberitahu Anda bahwa itulah identitas khas Pati. Identitas itu berupa
atap-atap rumah penduduk atau bangunan fungsional yang berarsitektur tradisional
Jawa.
Rumah
tradisional Pati memiliki ciri khas yaitu atap joglonya. Dikenal sebagai Joglo
Pati, rumah tradisional asal Pati ini mencerminkan perpaduan akulturasi
kebudayaan masyarakat daerah Kabupaten Pati.
Rumah
tradisional Pati memiliki atap genteng yang bentuknya khas, yang merupakan
perpaduan dari budaya Jawa dan Tiongkok. Joglo Pati diperkirakan mulai menjadi
tren arsitektur masyarakat Pati sejak sekitar tahun 1700-an dengan 90% kayu
jati asli. Joglo Pati mirip dengan Joglo Kudus, tetapi perbedaan yang paling
mencolok adalah bentuk bagian pintunya dan atap gentengnya.
Seperti
Joglo Pencu (rumah tradisional Kudus), Joglo Pati memiliki empat bagian ruangan
yang disebut Jogo Satru, Gedongan, Pawon, dan Pakiwan. Jogo
Satru adalah sebutan untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara etimologis,
kata “jogo satru” bisa diterjemahkan sebagai
“menjaga” (jogo) dan “musuh” (satru). Dengan kata lain, jogo satru bermakna bahwa bagian depan
rumah dimaksudkan sebagai perlindungan atau penjagaan terhadap serangan
musuh/orang yang tidak berkepentingan. Namun, sehari-harinya ruangan ini sering
digunakan sebagai tempat menerima tamu yang berkunjung.
Gedongan adalah bagian ruang
keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat tidur kepala keluarga. Pawon biasa digunakan untuk masak, belajar,
dan menonton televisi. Sedangkan Pakiwan adalah bagian halaman depan rumah, di mana terdapat sumur pada
sebelah kiri yang dinamakan pakiwan. Tempat
ini juga untuk aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK).
Seiring
dengan evolusi masyarakat Pati, keberadaan rumah adat Pati sendiri menjadi
penentu tingkat perekonomian seseorang mulai dilupakan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa pengrajin yang membuat rumah adat ini mematok harga yang sangat mahal,
sehingga hanya sebagian kecil masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah
ke atas yang bisa membelinya. Lambat laun, Joglo Pati juga mulai dilupakan, dan
masyarakat bergeser ke arsitektur hunian yang modern.
Sayangnya,
sumber informasi yang dibukukan serta bisa diakses oleh publik mengenai Joglo
Pati masih sangat kurang. Tidak ada sumber yang bisa dijadikan referensi
masyarakat dewasa ini dalam mengenal budaya lokal tersebut. Dibutuhkan peran
Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan rumah adat Pati, alias Joglo Pati.
Bila perlu, dengan bantuan pihak korporasi atau badan usaha yang memiliki program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate
social responsibility) untuk pelestarian budaya asli.©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar