Sabtu, 05 Maret 2016

Atap Rumah Sebagai Identitas

Rumah adat Joglo Pati di Anjungan Kabupaten Pati di Puri Maerokoco atau "Taman Mini Jawa Tengah Indah", Semarang.

BILA Anda mengunjungi wilayah Kabupaten Pati, begitu kendaraan yang Anda tumpangi melewati gapura “Selamat Datang Kabupaten Pati”, ada satu mercu tanda yang bakal memberitahu Anda bahwa itulah identitas khas Pati. Identitas itu berupa atap-atap rumah penduduk atau bangunan fungsional yang berarsitektur tradisional Jawa.

Rumah tradisional Pati memiliki ciri khas yaitu atap joglonya. Dikenal sebagai Joglo Pati, rumah tradisional asal Pati ini mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat daerah Kabupaten Pati.

Rumah tradisional Pati memiliki atap genteng yang bentuknya khas, yang merupakan perpaduan dari budaya Jawa dan Tiongkok. Joglo Pati diperkirakan mulai menjadi tren arsitektur masyarakat Pati sejak sekitar tahun 1700-an dengan 90% kayu jati asli. Joglo Pati mirip dengan Joglo Kudus, tetapi perbedaan yang paling mencolok adalah bentuk bagian pintunya dan atap gentengnya.

Seperti Joglo Pencu (rumah tradisional Kudus), Joglo Pati memiliki empat bagian ruangan yang disebut Jogo Satru, Gedongan, Pawon, dan Pakiwan. Jogo Satru adalah sebutan untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara etimologis, kata “jogo satru” bisa diterjemahkan sebagai “menjaga” (jogo) dan “musuh” (satru). Dengan kata lain, jogo satru bermakna bahwa bagian depan rumah dimaksudkan sebagai perlindungan atau penjagaan terhadap serangan musuh/orang yang tidak berkepentingan. Namun, sehari-harinya ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima tamu yang berkunjung.

Gedongan adalah bagian ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat tidur kepala keluarga. Pawon biasa digunakan untuk masak, belajar, dan menonton televisi. Sedangkan Pakiwan adalah bagian halaman depan rumah, di mana terdapat sumur pada sebelah kiri yang dinamakan pakiwan. Tempat ini juga untuk aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK).

Seiring dengan evolusi masyarakat Pati, keberadaan rumah adat Pati sendiri menjadi penentu tingkat perekonomian seseorang mulai dilupakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengrajin yang membuat rumah adat ini mematok harga yang sangat mahal, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas yang bisa membelinya. Lambat laun, Joglo Pati juga mulai dilupakan, dan masyarakat bergeser ke arsitektur hunian yang modern.

Sayangnya, sumber informasi yang dibukukan serta bisa diakses oleh publik mengenai Joglo Pati masih sangat kurang. Tidak ada sumber yang bisa dijadikan referensi masyarakat dewasa ini dalam mengenal budaya lokal tersebut. Dibutuhkan peran Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan rumah adat Pati, alias Joglo Pati. Bila perlu, dengan bantuan pihak korporasi atau badan usaha yang memiliki program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) untuk pelestarian budaya asli.©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar