SENIN, 14 Maret 2016, lalu kawasan Balai Kota DKI Jakarta,
Istana Negara, dan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika diserbu ribuan
pengemudi taksi.
Mereka berdemo menolak kehadiran taksi yang
berbasis aplikasi online. Anda pasti bisa dengan mudah menerka penyebabnya.
Iya, penghasilan mereka terpangkas akibat hadirnya taksi berbasis aplikasi.
Bahkan sebetulnya bukan hanya taksi itu yang membuat penumpang berpindah. Ojek
online merebut sebagian pasar taksi konvensional.
Mereka mengeluh, utang setoran ke perusahaan terus
bertambah. Padahal, uang yang dibawa pulang untuk makan anak-istri makin turun.
Kita tentu prihatin dengan kenyataan tersebut. Apalagi jumlah pengemudi
angkutan umum ini tidak sedikit. Seluruhnya bisa mencapai 170.000-an. Sampai di
sini Anda mungkin bergumam: mengapa mereka tidak berubah saja? Ke mana para
eksekutifnya? Mengapa mereka membiarkan pasarnya digerus para pelaku bisnis
online tanpa berupaya melakukan perubahan internal? Tentu semua ini tak akan
mudah.
Sampai di sini adagium perubahan kembali berbunyi:
kalau rasa sakit manusia itu belum melebihi rasa takutnya, rasanya belum tentu
mereka mau berubah. Maaf, pesan ini berlaku buat kita semua, baik yang sedang
duka maupun yang masih gembira. Tapi, supaya fair, kita juga mesti melihatnya
dari sisi yang lain, yakni pengemudi taksi berbasis aplikasi dan ojek online.
Mereka juga tengah mencari penghasilan untuk
mencukupi kebutuhan anak-istrinya. Lalu, pelanggannya juga senang memakai taksi
berbasis aplikasi karena serasa naik mobil pribadi dan tarifnya pun murah.
Begitu selesai langsung turun. Praktis. Tak pakai bayar-bayaran tunai. Bisnis
taksi berbasis aplikasi ini juga punya pesaing. Anda bisa klik www.nebeng.com.
Ini aplikasi yang juga mempertemukan pemilik kendaraan pribadi dengan mereka
yang membutuhkan angkutan ke arah yang sama.
Tarifnya tak kalah bersaing. Misalnya tarif dari
Perumahan Vila Nusa Indah di Bekasi ke Jakarta hanya Rp 15.000 sekali jalan.
Murah! Para pemilik kendaraan yang rela “ditebengi” ini juga ikut andil dalam
mengurangi kemacetan di Jakarta. Ketimbang setiap orang naik mobil pribadi,
lebih satu mobil dipakai bersama-sama dengan cara nebeng. Jumlah mobil yang
masuk ke Jakarta jadi lebih sedikit.
Pertarungan Business Model
TAPI, mari kita bahas soal perseteruan taksi
konvensional vs taksi berbasis aplikasi. Hadirnya taksi berbasis
aplikasi, menurut saya, adalah penanda datangnya era crowd business. Apa
itu crowd business? Sederhana. Ini bisnis yang kalau Anda mencoba mencari
polanya bakal pusing sendiri. Sebab serba tidak jelas. Misalnya, tidak jelas
batasan antara produsen dan konsumen. Juga, tidak jelas kreditor dengan
debitor.
Siapa pun bisa menjadi pemasok Anda, tetapi
sekaligus menjadi konsumen Anda. Crowd business kian kencang berputar
akibat kemajuan teknologi informasi—yang terutama membuat arus informasi
mengalir deras dan sekaligus memangkas biaya-biaya transaksi. Dulu, kalau kita
mau mencari suatu barang mesti menghabiskan waktu, tenaga dan uang. Kita datang
ke beberapa toko, melihat barang, membandingkan harganya, dan melakukan
tawar-menawar.
Kalau setuju, baru kita membayar. Kini tidak perlu
lagi. Kita cukup berselancar di dunia maya, mencari barang dan
membandingkannya, memilih, memesan, lalu membayar. Semuanya bisa dilakukan
tanpa kita harus beranjak dari kursi dan dengan biaya nyaris nol. Itu pula yang
terjadi dalam perseteruan antara bisnis taksi konvensional vs taksi
berbasis aplikasi.
Di bisnis taksi konvensional, kita bukan hanya
harus membayar jasa angkutannya, tetapi secara tidak langsung juga mesti
menanggung biaya kredit mobilnya, gaji pegawai perusahaan taksinya, biaya
listrik dan AC, dan sebagainya. Di bisnis taksi berbasis aplikasi, kita tidak
ikut menanggung biaya-biaya tersebut. Jadi, tak mengherankan kalau tarifnya
bisa lebih murah. Kolega saya pernah membandingkan.
Untuk rute Cakung ke Halim Perdanakusuma yang
sama-sama di Jakarta Timur, dengan taksi konvensional tarifnya Rp 105.000,
sementara dengan taksi berbasis aplikasi hanya Rp 55.000. Ini jelas pilihan yang
mudah buat calon konsumen. Switching cost dalam industri ini amat rendah. Maka
terjadilah down-shifting. Lalu, bagaimana yang satu bisa lebih mahal ketimbang
yang lain? Ini adalah persoalan model bisnis.
Analoginya mirip bisnis penerbangan full
service dengan low cost carrier (LCC). LCC mendesain model
bisnisnya dengan memangkas berbagai biaya, sehingga tarifnya menjadi lebih
murah ketimbang maskapai penerbangan yang full service. Model bisnis
inilah yang membuat bisnis taksi era lama bakal segera usang.
Pesaingnya bukan sesama bisnis taksi, melainkan
para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan
calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan. Selamat datang di peradaban
sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling mendayagunakan
segala kepemilikan yang tadinya idle dari owning economy.
Berdamai, Bukan Menentang
KASUS serupa bisnis taksi bakal kita jumpai dalam
bisnis-bisnis yang lain. Di luar negeri, pangsa pasar bisnis perbankan mulai
terganggu oleh hadirnya perusahaan-perusahaan crowdfunding. Anda bisa cek
ini di www.lendingclub.com. Perusahaan ini mengumpulkan dana dari
masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ke masyarakat.
Bedanya, proses mendapatkan kreditnya jauh lebih
simpel ketimbang perbankan, dan suku bunganya pun lebih murah. Di Indonesia,
bisnis ala lending club sudah ada. Anda bisa cek website-nya di www.gandengtangan.org.
Memang untuk sementara bisnis yang didanai masih untuk usaha skala UMKM
dan social enterprise. Tapi, siapa tahu ke depannya bakal melebar ke
mana-mana Di luar negeri, ada www.airbnb.com yang
mempertemukan para pemilik rumah pribadi yang ingin menyewakan rumahnya dengan
orang-orang yang mencari penginapan.
Soal tarif, jelas lebih murah ketimbang hotel.
Lalu, ada juga aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan
calon konsumen angkutan darat. Namanya Lyft. Hadirnya aplikasi ini membuat
bisnis taksi tersaingi. Begitulah, kita tak bisa membendung teknologi. Ia akan
hadir untuk menghancurkan bisnis-bisnis yang sudah mapan—yang tak bisa
beradaptasi dengan perubahan.
Persis kata Charles Darwin, "Bukan yang
terkuat yang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan
perubahan". Maka, kita harus berdamai dengan perubahan. Bagaimana caranya?
Di luar negeri, para pengelola chain hotel berdamai dengan kompetitornya, para
pemilik rumah yang siap disewakan melalui jasa www.airbnb.com.
Caranya, mereka menjadi pengelola dari rumah-rumah yang bakal disewakan
tersebut sehingga ruangan dan layanannya memiliki standar a la hotel.
Belum lama ini saya menikmatinya di sebuah desa di
Spanyol Selatan, dan saya puas. Kasus serupa menimpa Lego, perusahaan mainan
anak, yang terancam bangkrut pada awal 1990-an. Hadirnya video games membuat
anak-anak kita tak berminat lagi dengan batu bata mainan buatan Lego. Namun,
perusahaan itu mampu bangkit lagi dengan mengandalkan inovasi dari orang-orang
di luar perusahaan, atau crowd sourcing.
Mereka semua belajar dari model bisnis Kick Starter
yang fenomenal. Lego tak melawan perubahan, tetapi berdamai. Saya tidak punya
resep khusus bagaimana caranya setiap perusahaan mesti menghadapi perubahan.
Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan.
Demikian juga pesan saya kepada bapak Presiden,
Menteri Perhubungan, Gubernur DKI, dan Menteri Kominfo. Kita butuh cara baru
yang berdamai dengan perubahan. Maka, kita semua akan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar