Selasa, 29 Maret 2016

Prioritas Pembangunan Pati Tahun 2017

PENANGGULANGAN kemiskinan dan pengurangan pengangguran akan menjadi prioritas pembangunan Kabupaten Pati di 2017. “Dan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, kami akan fokus pada kegiatan peningkatan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat,” tutur Haryanto, Bupati Pati, saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Pati tahun 2016 di Pendopo Kabupaten, 23 Maret 2016. Meski dari persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun terlihat sudah ada tren penurunan, namun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tetap berambisi untuk terus menekan angka kemiskinan hingga memenuhi target capaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2012-2017,  yaitu di angka 4,2%. Data terakhir yang dimiliki Pemkab, pada 2014 jumlah penduduk miskin Kabupaten Pati sebesar 148 ribu jiwa.

Satu lagi Pekerjaan Rumah (PR) Pemkab yang akan digarap di 2017 adalah menekan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pada tahun 2014, TPT Kabupaten Pati memang telah berada pada angka 6,37% dan sudah memenuhi target RPJMD 2012-2017 yang berada pada angka 6,6%. Namun apabila dibandingkan dengan TPT kabupaten-kabupaten sekitar yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit, TPT Kabupaten Pati pada tahun 2014 masih lebih tinggi.

“Meski target penurunan TPT Kabupaten Pati sudah memenuhi target capaian RPJMD Tahun 2012-2017 tapi kami tetap akan memperhatikan amanat Bappeda Jateng di mana guna mendukung pencapaian target sasaran pembangunan Jawa Tengah, Kabupaten Pati diharapkan memberi kontribusi target sasaran penurunan angka kemiskinan hingga menjadi sebesar 8,98% dan TPT sebesar 7,44%,” ungkap Haryanto.

Guna meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat itulah, Pemkab berusaha membukakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Pati. “Mereka tak harus meninggalkan pekerjaan lama mereka sebagai petani, jika perlu mereka yang nantinya yang akan dengan sendirinya menarik warga masyarakat lain untuk juga menjadi petani. Mereka akan makmur dengan hasil panen jagung mereka karena pabrik pengolahannya lebih dekat, ongkos kirim lebih murah, harga lebih kompetitif, jadi untungnya juga lebih besar,” terang Haryanto saat memaparkan rencana pembangunan pabrik pengolahan jagung oleh investor baru.

Selain itu Pemkab juga berharap besar pada Pasar Pragolo yang baru saja berdiri di Margorejo. “Mudah-mudahan ini nanti bisa tepat sasaran, dan mampu memberikan efek yang lebih luas bagi para UMKM yang selama ini kesulitan memasarkan produknya,” lanjut lelaki berkumis ini. Dalam kesempatan itu ia pun meminta pada seluruh peserta untuk memahami bahwa tak semua program kegiatan yang diusulkan akan langsung diakomodasi. “Angka-angka yang diusulkan para delegasi, itu nilainya tidak sedikit, padahal anggaran kita terbatas. Dari usulan-usulan itu nantinya akan ada skala prioritas. Inilah proses pembangunan, jadi tidak mungkin tertampung secara keseluruhan,” ujar Bupati. Namun ia meyakinkan pada para peserta untuk tidak putus asa untuk terus membawa usulan-usulan mereka di tiap penyelenggaraan Musrenbang. “Terus diinventarisir, sekalipun tidak langsung terakomodir, tapi dari tahun ke tahun pada akhirnya akan terakomodir,” pintanya.

Haryanto lantas mencontohkan pembangunan Jembatan Sampang yang beberapa kali diusulkan kini pun akhirnya berhasil terwujud. “Selain itu pembangunan tambat kapal di Juwana yang berpuluh-puluh tahun diusulkan juga tahun 2015 lalu sudah ada sedikit titik terang dengan berhasilnya pembelian lahan. Belum lagi embung jrahi yang sudah terwujud, dan masih banyak contoh lainnya,” imbuh Bupati. Selain penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, setidaknya ada lima program prioritas Pemkab Pati di 2017. Pertama, peningkatan produksi dan daya saing produk pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan serta peningkatan kesejahteraan petani melalui pemberdayaan kelembagaan petani rangka peningkatan ketahanan pangan. Kedua, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, dan ketiga adalah peningkatan infrastruktur pendukung perekonomian daerah dan pengembangan wilayah.

“Dan yang keempat dan kelima adalah pemantapan implementasi Reformasi Birokrasi dalam rangka peningkatan kinerja dan profesionalisme, serta penguatan kelembagaan pemerintahan dan kemasyarakatan desa,” pungkasnya.©




Sumber berita: pasfmpati.com

Sabtu, 26 Maret 2016

Melirik Peluang Bisnis di Kota Pensiunan


DIKENAL sebagai Kota Pensiunan karena sebagian besar penghuninya adalah para purnawirawan atau pensiunan yang sudah lepas jabatan, Kabupaten Pati ternyata memiliki potensi bisnis yang terbilang cukup manis. Berbatasan langsung dengan Laut Jawa di bagian utara, Kabupaten Rembang di sebelah timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di sudut selatan, serta Kabupaten Kudus dan Jepara di bagian barat, Pati merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang memiliki beragam potensi bisnis yang cukup menjanjikan.

Tak hanya dikenal sebagai sentra penghasil bandeng presto (tepatnya di Kecamatan Juwana), Kabupaten Pati juga dikenal sebagai sentra budidaya buah manggis dan jambu mete. Wilayahnya yang terbilang strategis dengan potensi alam yang begitu berlimpah, menjadikan para investor tertarik untuk membangun sentra industri di kawasan tersebut, contohnya saja seperti PT Dua Kelinci dan PT Garuda Food yang sejak tahun 1985 silam mulai memproduksi kacang garing di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Agar tidak penasaran dengan manisnya potensi bisnis di Kota Pensiunan (Pati), berikut ini kami informasikan beberapa sentra industri di Daerah Pati yang bisa Anda jadikan sebagai referensi untuk merintis peluang bisnis baru.

Sentra Industri Ikan
BILA sebelumnya banyak orang menganggap Bandeng Juwana merupakan makanan khas dari Semarang, sebetulnya sentra penghasil bandeng presto adalah Kecamatan Juwana yang terletak di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Berada di kawasan pesisir utara Pulau Jawa, Kecamatan Juwana merupakan kota terbesar kedua setelah ibukota Kabupaten Pati. Potensi hasil tambak maupun tangkapan nelayan yang terdapat di sentra industri tersebut antara lain, ikan bandeng, udang, ikan tongkol, kakap merah, kepiting, ikan pe, cumi, dan ikan kerapu. Di wilayah ini pula terdapat sejumlah industri pengasapan ikan hasil tangkapan nelayan untuk memasok sejumlah daerah di Jawa Tengah. Tak heran, jika Kota Juwana menjadi terkenal di sejumlah daerah sebagai salah satu daerah pemasok ikan.

Sentra Penghasil Buah
SELAIN memiliki potensi perikanan yang cukup besar, Kabupaten Pati juga dikenal sebagai sentra penghasil buah yang cukup berlimpah. Di daerah bersemboyan Bumi Mina Tani ini sedikitnya ada sekitar 206.128 batang pohon mangga yang setiap musimnya mampu memproduksi 577.158 kuintal mangga. Selain itu ada juga buah rambutan yang tumbuh di sekitar Kecamatan Gunungwungkal, Cluwak, Gembong, Tlogowungu, Wedarijaksa, serta Kecamatan Trangkil.  Buah durian juga tumbuh subur di Kecamatan Gunungwungkal, Cluwak, Gembong, dan Tlogowungu. Sedangkan untuk sentra buah jambu monyet bisa kita temukan di Desa Margorejo dan sentra buah manggis di Desa Gunungsari.

Sentra Kerajinan Kuningan
SENTRA industri kerajinan kuningan bisa kita temui di Kecamatan Juwana, tepatnya sekitar 12 kilometer sebelah timur Ibukota Pati. Di kawasan tersebut bisa kita jumpai puluhan pengrajin kuningan yang produknya tak hanya dipasarkan ke sekitar Kabupaten Pati, namun juga mulai merambah sejumlah negara tetangga. Di sentra industri kerajinan kuningan ini, kita bisa menemukan beberapa barang unik, mulai dari barang-barang perabot rumah tangga, cindera mata, sukucadang atau mesin, dan lain sebagainya.

Sentra Industri Makanan Ringan
DUA produsen kacang garing yang cukup terkenal di Indonesia, yakni PT Dua Kelinci dan PT Garuda Food mulai tertarik mengolah kacang tanah di sekitar Kabupaten Pati dengan bantuan teknologi canggih sehingga menghasilkan produk kacang garing yang kualitasnya benar-benar terjaga. Seiring dengan perkembangan pasar, sekarang ini dua produsen tersebut tidak hanya memproduksi kacang garing namun juga mulai menciptakan makanan ringan lainnya seperti misalnya kacang salut, kacang atom, pilus, kacang polong, kacang koro, dan masih banyak lagi produk turunan lainnya. Pemasarannya pun tidak hanya menjangkau pasar lokal, namun juga mulai merambah pasar nasional dan internasional.

Melimpahnya potensi kekayaan alam di Kota Pensiunan ini, menjadi modal utama Kabupaten Pati menuju masa depan yang lebih cerah lagi. Semoga informasi potensi Daerah Pati yang kami angkat pada pekan ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat Indonesia untuk segera terjun merintis usaha. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses!©

Senin, 21 Maret 2016

Berdamai Dengan Perubahan

Tulisan berikut adalah dari Rhenald Kasali pada 17 Maret 2016...


SENIN, 14 Maret 2016, lalu kawasan Balai Kota DKI Jakarta, Istana Negara, dan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika diserbu ribuan pengemudi taksi.

Mereka berdemo menolak kehadiran taksi yang berbasis aplikasi online. Anda pasti bisa dengan mudah menerka penyebabnya. Iya, penghasilan mereka terpangkas akibat hadirnya taksi berbasis aplikasi. Bahkan sebetulnya bukan hanya taksi itu yang membuat penumpang berpindah. Ojek online merebut sebagian pasar taksi konvensional.

Mereka mengeluh, utang setoran ke perusahaan terus bertambah. Padahal, uang yang dibawa pulang untuk makan anak-istri makin turun. Kita tentu prihatin dengan kenyataan tersebut. Apalagi jumlah pengemudi angkutan umum ini tidak sedikit. Seluruhnya bisa mencapai 170.000-an. Sampai di sini Anda mungkin bergumam: mengapa mereka tidak berubah saja? Ke mana para eksekutifnya? Mengapa mereka membiarkan pasarnya digerus para pelaku bisnis online tanpa berupaya melakukan perubahan internal? Tentu semua ini tak akan mudah.

Sampai di sini adagium perubahan kembali berbunyi: kalau rasa sakit manusia itu belum melebihi rasa takutnya, rasanya belum tentu mereka mau berubah. Maaf, pesan ini berlaku buat kita semua, baik yang sedang duka maupun yang masih gembira. Tapi, supaya fair, kita juga mesti melihatnya dari sisi yang lain, yakni pengemudi taksi berbasis aplikasi dan ojek online.

Mereka juga tengah mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan anak-istrinya. Lalu, pelanggannya juga senang memakai taksi berbasis aplikasi karena serasa naik mobil pribadi dan tarifnya pun murah. Begitu selesai langsung turun. Praktis. Tak pakai bayar-bayaran tunai. Bisnis taksi berbasis aplikasi ini juga punya pesaing. Anda bisa klik www.nebeng.com. Ini aplikasi yang juga mempertemukan pemilik kendaraan pribadi dengan mereka yang membutuhkan angkutan ke arah yang sama.

Tarifnya tak kalah bersaing. Misalnya tarif dari Perumahan Vila Nusa Indah di Bekasi ke Jakarta hanya Rp 15.000 sekali jalan. Murah! Para pemilik kendaraan yang rela “ditebengi” ini juga ikut andil dalam mengurangi kemacetan di Jakarta. Ketimbang setiap orang naik mobil pribadi, lebih satu mobil dipakai bersama-sama dengan cara nebeng. Jumlah mobil yang masuk ke Jakarta jadi lebih sedikit.

Pertarungan Business Model 
TAPI, mari kita bahas soal perseteruan taksi konvensional vs taksi berbasis aplikasi. Hadirnya taksi berbasis aplikasi, menurut saya, adalah penanda datangnya era crowd business. Apa itu crowd business? Sederhana. Ini bisnis yang kalau Anda mencoba mencari polanya bakal pusing sendiri. Sebab serba tidak jelas. Misalnya, tidak jelas batasan antara produsen dan konsumen. Juga, tidak jelas kreditor dengan debitor.

Siapa pun bisa menjadi pemasok Anda, tetapi sekaligus menjadi konsumen Anda. Crowd business kian kencang berputar akibat kemajuan teknologi informasi—yang terutama membuat arus informasi mengalir deras dan sekaligus memangkas biaya-biaya transaksi. Dulu, kalau kita mau mencari suatu barang mesti menghabiskan waktu, tenaga dan uang. Kita datang ke beberapa toko, melihat barang, membandingkan harganya, dan melakukan tawar-menawar.

Kalau setuju, baru kita membayar. Kini tidak perlu lagi. Kita cukup berselancar di dunia maya, mencari barang dan membandingkannya, memilih, memesan, lalu membayar. Semuanya bisa dilakukan tanpa kita harus beranjak dari kursi dan dengan biaya nyaris nol. Itu pula yang terjadi dalam perseteruan antara bisnis taksi konvensional vs taksi berbasis aplikasi.

Di bisnis taksi konvensional, kita bukan hanya harus membayar jasa angkutannya, tetapi secara tidak langsung juga mesti menanggung biaya kredit mobilnya, gaji pegawai perusahaan taksinya, biaya listrik dan AC, dan sebagainya. Di bisnis taksi berbasis aplikasi, kita tidak ikut menanggung biaya-biaya tersebut. Jadi, tak mengherankan kalau tarifnya bisa lebih murah. Kolega saya pernah membandingkan.

Untuk rute Cakung ke Halim Perdanakusuma yang sama-sama di Jakarta Timur, dengan taksi konvensional tarifnya Rp 105.000, sementara dengan taksi berbasis aplikasi hanya Rp 55.000. Ini jelas pilihan yang mudah buat calon konsumen. Switching cost dalam industri ini amat rendah. Maka terjadilah down-shifting. Lalu, bagaimana yang satu bisa lebih mahal ketimbang yang lain? Ini adalah persoalan model bisnis.

Analoginya mirip bisnis penerbangan full service dengan low cost carrier (LCC). LCC mendesain model bisnisnya dengan memangkas berbagai biaya, sehingga tarifnya menjadi lebih murah ketimbang maskapai penerbangan yang full service. Model bisnis inilah yang membuat bisnis taksi era lama bakal segera usang.

Pesaingnya bukan sesama bisnis taksi, melainkan para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan. Selamat datang di peradaban sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling mendayagunakan segala kepemilikan yang tadinya idle dari owning economy.

Berdamai, Bukan Menentang 
KASUS serupa bisnis taksi bakal kita jumpai dalam bisnis-bisnis yang lain. Di luar negeri, pangsa pasar bisnis perbankan mulai terganggu oleh hadirnya perusahaan-perusahaan crowdfunding. Anda bisa cek ini di www.lendingclub.com. Perusahaan ini mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ke masyarakat.

Bedanya, proses mendapatkan kreditnya jauh lebih simpel ketimbang perbankan, dan suku bunganya pun lebih murah. Di Indonesia, bisnis ala lending club sudah ada. Anda bisa cek website-nya di www.gandengtangan.org. Memang untuk sementara bisnis yang didanai masih untuk usaha skala UMKM dan social enterprise. Tapi, siapa tahu ke depannya bakal melebar ke mana-mana Di luar negeri, ada www.airbnb.com yang mempertemukan para pemilik rumah pribadi yang ingin menyewakan rumahnya dengan orang-orang yang mencari penginapan.

Soal tarif, jelas lebih murah ketimbang hotel. Lalu, ada juga aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen angkutan darat. Namanya Lyft. Hadirnya aplikasi ini membuat bisnis taksi tersaingi. Begitulah, kita tak bisa membendung teknologi. Ia akan hadir untuk menghancurkan bisnis-bisnis yang sudah mapan—yang tak bisa beradaptasi dengan perubahan.

Persis kata Charles Darwin, "Bukan yang terkuat yang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan perubahan". Maka, kita harus berdamai dengan perubahan. Bagaimana caranya? Di luar negeri, para pengelola chain hotel berdamai dengan kompetitornya, para pemilik rumah yang siap disewakan melalui jasa www.airbnb.com. Caranya, mereka menjadi pengelola dari rumah-rumah yang bakal disewakan tersebut sehingga ruangan dan layanannya memiliki standar a la hotel.

Belum lama ini saya menikmatinya di sebuah desa di Spanyol Selatan, dan saya puas. Kasus serupa menimpa Lego, perusahaan mainan anak, yang terancam bangkrut pada awal 1990-an. Hadirnya video games membuat anak-anak kita tak berminat lagi dengan batu bata mainan buatan Lego. Namun, perusahaan itu mampu bangkit lagi dengan mengandalkan inovasi dari orang-orang di luar perusahaan, atau crowd sourcing.

Mereka semua belajar dari model bisnis Kick Starter yang fenomenal. Lego tak melawan perubahan, tetapi berdamai. Saya tidak punya resep khusus bagaimana caranya setiap perusahaan mesti menghadapi perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan.


Demikian juga pesan saya kepada bapak Presiden, Menteri Perhubungan, Gubernur DKI, dan Menteri Kominfo. Kita butuh cara baru yang berdamai dengan perubahan. Maka, kita semua akan selamat.

Senin, 07 Maret 2016

Menelusuri Jejak Kereta Api di Pati

Emplasemen Stasiun Pati milik Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij. Foto tahun 1905 koleksi KITLV-Leiden.
Ketika 2 Februari 2016 lalu, kawan kami bersama istrinya melakukan perjalanan dinas ke Pati, Jawa Tengah, ia harus menumpang KA Argo Muria sampai Stasiun Semarang Tawang (SMT, +2 m dpl) dan melanjutkan perjalanan ke Kota Pati dengan bermobil. Selama perjalanan ke Pati dengan menumpang mobil sewaan itu, pikiran kawan kami itu melayang ke masa ketika Pati masih dilalui jalur kereta api. “Betapa mengasikkan kalau jalur itu masih ada, sehingga gue bisa berkereta api dari Jakarta langsung ke Pati,” komentarnya.
                                                                                                  
Ya, dahulu Pati memiliki stasiun kereta api bernama “Stasiun Pati” (kode: PT), yang dinonaktifkan pada tahun 1987. Setelah dinonaktifkan, perlahan-lahan jejak sejarah kereta api di Pati terhapus oleh waktu. Makanya, sepanjang perjalanan menuju Pati dari Semarang, Anda tidak akan menemukan jejak jalur kereta api. Perjalanan Anda hanya akan didominasi oleh jalan aspal dan beton yang lurus seolah tak ada ujungnya. Padahal pada masanya, dari Semarang menuju Pati tercatat ada beberapa halte dan stasiun yang pernah berdiri, di antaranya adalah Halte Genuk, Stasiun Buyaran, Stasiun Demak, Stasiun Kudus, Halte Kaliampo, Halte Gemeces, dan Stasiun Joana/Juwana.

Setelah hampir dua jam menempuh perjalanan, akhirnya mobil sewaan yang kawan kami tumpangi itu memasuki Kota Pati. Di sini bekas jalur kereta api telah berubah menjadi jalur lambat. Dari informasi yang kami dapat dari komunitas pelestarian warisan perkeretaapian Indonesia, bekas Stasiun Pati berlokasi di Desa Margorejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Stasiun ini dahulu merupakan stasiun kereta api besar yang melayani masyarakat sekitar Kabupaten Pati. Dibangun pada tahun 1885, Stasiun Pati saat itu dimiliki oleh perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda, yaitu Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, Stasiun Pati diambil alih oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
 
Bangunan bekas Stasiun Pati di Jalan Jendral Sudirman, Pati. Kini menjadi aset milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi IV Semarang.

Pengoperasian kereta api di stasiun ini masih berlanjut hingga tahun 1980an. Karena kereta api kalah bersaing dengan kendaraan beroda yang semakin banyak dan saat itu relnya berada di tepi jalan raya, maka Stasiun Pati dan jalurnya ditutup pada tahun 1987. Kini bangunan stasiun yang berada di Jalan Jendral Sudirman, Pati, itu telah berubah fungsi menjadi kafe. Meskipun sudah tidak aktif, di sekitar bekas stasiun masih bisa ditemukan sisa-sisa sarana dan prasarana perkeretaapian, seperti menara air, gudang, dan bekas kantor yang kini ditempati warga setempat sebagai hunian.©

Sabtu, 05 Maret 2016

Atap Rumah Sebagai Identitas

Rumah adat Joglo Pati di Anjungan Kabupaten Pati di Puri Maerokoco atau "Taman Mini Jawa Tengah Indah", Semarang.

BILA Anda mengunjungi wilayah Kabupaten Pati, begitu kendaraan yang Anda tumpangi melewati gapura “Selamat Datang Kabupaten Pati”, ada satu mercu tanda yang bakal memberitahu Anda bahwa itulah identitas khas Pati. Identitas itu berupa atap-atap rumah penduduk atau bangunan fungsional yang berarsitektur tradisional Jawa.

Rumah tradisional Pati memiliki ciri khas yaitu atap joglonya. Dikenal sebagai Joglo Pati, rumah tradisional asal Pati ini mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat daerah Kabupaten Pati.

Rumah tradisional Pati memiliki atap genteng yang bentuknya khas, yang merupakan perpaduan dari budaya Jawa dan Tiongkok. Joglo Pati diperkirakan mulai menjadi tren arsitektur masyarakat Pati sejak sekitar tahun 1700-an dengan 90% kayu jati asli. Joglo Pati mirip dengan Joglo Kudus, tetapi perbedaan yang paling mencolok adalah bentuk bagian pintunya dan atap gentengnya.

Seperti Joglo Pencu (rumah tradisional Kudus), Joglo Pati memiliki empat bagian ruangan yang disebut Jogo Satru, Gedongan, Pawon, dan Pakiwan. Jogo Satru adalah sebutan untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara etimologis, kata “jogo satru” bisa diterjemahkan sebagai “menjaga” (jogo) dan “musuh” (satru). Dengan kata lain, jogo satru bermakna bahwa bagian depan rumah dimaksudkan sebagai perlindungan atau penjagaan terhadap serangan musuh/orang yang tidak berkepentingan. Namun, sehari-harinya ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima tamu yang berkunjung.

Gedongan adalah bagian ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat tidur kepala keluarga. Pawon biasa digunakan untuk masak, belajar, dan menonton televisi. Sedangkan Pakiwan adalah bagian halaman depan rumah, di mana terdapat sumur pada sebelah kiri yang dinamakan pakiwan. Tempat ini juga untuk aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK).

Seiring dengan evolusi masyarakat Pati, keberadaan rumah adat Pati sendiri menjadi penentu tingkat perekonomian seseorang mulai dilupakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengrajin yang membuat rumah adat ini mematok harga yang sangat mahal, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas yang bisa membelinya. Lambat laun, Joglo Pati juga mulai dilupakan, dan masyarakat bergeser ke arsitektur hunian yang modern.

Sayangnya, sumber informasi yang dibukukan serta bisa diakses oleh publik mengenai Joglo Pati masih sangat kurang. Tidak ada sumber yang bisa dijadikan referensi masyarakat dewasa ini dalam mengenal budaya lokal tersebut. Dibutuhkan peran Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan rumah adat Pati, alias Joglo Pati. Bila perlu, dengan bantuan pihak korporasi atau badan usaha yang memiliki program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) untuk pelestarian budaya asli.©